Friday, May 16, 2014

Sejarah Buka Luwur di Kudus



                Bagi Masyarakat Kudus tentunya sudah mengenal acara Buka Luwur Sunan Kudus.  Acara ini merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian masyarakat
yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur sebenarnya bukanlah Khaul atau
peringatan wafatnya sunan Kudus, sebab kapan tanggal wafatnya sunan Kudus tidak atau
belum diketahui. Mengapa Buka Luwur diadakan tanggal 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut diyakini bahwa ilmu Tuhan (darilangit) diturunkan ke bumi, sehingga tanggal tersebutdianggap keramat. Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur tersebut diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulansebelum bulan Syura).
           Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena mengharap
“berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih penutup makam yang sudah satu tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan“berkah”. Pada malam tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah shalat subuh diadakah khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir). Sementara khataman berlangsung dibuatlah “Bubur Suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai
macam rempah-rempah. Hal ini dimaksudkan sebagai “Tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir  yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan “bubur  suro” pada saat khataman AlQuran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80hingga 100 kambing. Kemudian pada malam harinya,yaitu malam tanggal 10Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai
perjuangan dan kepribadian sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah shalat subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangankelambu..
 
         Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah di masak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki
berkah dan banyak mengandungkhasiat menyembuhkan penyakit. Walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan Kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasi tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur. Makna Buka Luwur merupakan sebuah ekspresi dari kepercayaan melalui
akal yang mencoba memahami realita kebenaran mengenai manusia dan sejarah serta kalbu yang digunakan untuk memahami pesan firman-firman Tuhan melalui perasaan. Hal itu menghasilkan rentetan ceremony atau upacara yang berlangsung secara kronologis dan berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang menjadi ekspresi perasaan masyarakat dalam dinamika tindakannya. Peringatan Buka Luwur mempunyai nilai yang cukup tinggi. Meneladani nilai-nilai dari perjuangan para wali khususnya sunan Kudus dalam hidup
bermasyarakat. Secara historis,dalam menyebarkan agama Islam para walisongo menggunakan
berbagai macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha.
            Akhirnya agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat memang dianggap membawa dampaknegatif  yaitu sinkretisasi. Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menrima Islam sebagai
agama baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh sunan Kudus. Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan masyarakat, dengan bentuk masjidnya  yang menyerupai kulkul di Bali yang mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.
Oleh: Bp. Sholikun, S.Ag (Guru SMK NU Ma'arif)



No comments:

Post a Comment